Selasa, 08 Maret 2011

USAHA-USAHA MEMPERBAIKI METABOLIT SEKUNDER

2.1. Penggunaan Fusi Sel Untuk Produksi Senyawa Metabolit Sekunder
Minat yang besar dalam memproduksi senyawa-senyawa yang berguna seperti alkaloid, steroid, vitamnin dan pigmen sangat meningkat dengan perkembangan teknologi sel tanaman.
Metabolit sekunder dihasilkan oleh kultur sel tanaman. Meskipun demikian, produktivitas kultur sel masih lebih rendah daripada produktivitas tanaman di lapang. Akhir-akhir ini sudah dilaporkan beberapa lini sel yang berhasil dimantapkan dengan melakukan seleksi. Lini-lini sel ini menghasilkan senyawa metabolit sekunder dalam jumlah besar. Kultur protoplast juga sudah digunakan untuk pemuliaan tanaman, untuk mendapatkan mutan yang resisten terhadap obat-obatan, dan auxotroph serta untuk hibridisasi somatic. Sebagaian besar tanaman yang dipelajari berasal dari genus solanaceae. Teknologi protoplast yang dikembangkan dari kultur protoplast yang berasal dari lini-lini sel yang menghasilkan metabolit sekunder dalam jumlah besar akan menjadi bidang yang pentinga dalam teknologi kultur jaringan tanaman. Kultur protoplast penting untuk menyeleksi sel tunggal yang mengandung metabolit sekunder dalam jumlah tinggi.
Hal yang menarik adalah lini-lini sel yang berasal dari protoplast menunjukkan variasi kromosom meskipun setiap klon diturunkan dari protoplast tunggal.
Tanaman tingkat tinggi adalah organisme multiseluler yang terdiri dari sel-sel, jaringan yang berdiferensiasi. Sel-sel yang berdiferensiasi mempunyai potensi untuk memproduksi senyawa spesifik dalam jumlah dan kelakuan yang stabil. Dalam hal ini, sel tumbuhan berbeda dari sel mikroorganisma, seperti bakteri, dimana cloning sel tunggal dapat dilakukan dengan sangat efektif untuk mendapatkan sel yang mempunyai karakter yang spesifik. Untuk mendiferensiasi metabolit sekunder, metoda seleksi yang dipilih harus berbeda dari metoda seleksi yang digunakan untuk mengisolasi sel tunggal yang mampu menghasilkan metabolit sekunder dalam jumlah besar. Produktivitas metabolit sekunder yang dihasilkan dengan kultur sel adalah fungsi dari jumlah metabolit pada sel dan kecepatan petumbuhan sel. Dengan mempergunakan kultur protoplast, hal ini penting untuk mendapatkan lini sel yang tumbuhan sangat cepat akan menghasilkan hibridoma tanaman.

A. Fusi Protoplas Tanaman
Fusi protoplas tanaman dari jaringan yang sama dapat terjadi dengan sendirinya selama isolasi. Tetapi fusi protoplas tanaman dari spesies yang berbeda harus diinduksi. Saat ini tersedia berbagai teknik fusi protoplasma tanaman. Teknik yang banyak digunkan di Prairie Regional Laboratory yaitu pemberian larutan polietilenglikol (PEG) pada campuran protoplas dari dua spesies yang berbeda dan kemudian dielusi dengan pH tinggi dan larutan ion Ca2+ kadar tinggi. Fusi intergenerik terjadi dengan laju sampai 40-50%. Teknik untuk mengidentifikasi heterokariosit (heterokarion) membutuhkan penggunaan protoplas hijau yang diisolasi dari daun (L), protoplas merah jambu yang diisolasi dari sel yang dikulturkan (C).
Prosedur ini, ampuh untuk melakukan fusi protoplas berbagai spesies:
1. kedele (C) dan jelai (L), jagung (L), beras belanda (L), kacang polong (L), alfalfa (L), Crepis capillaries (L), Vicia hajastana (L), dan Nicotiana glauca (L).
2. Vicia hajastana (C), dengan kacang polong (L).
3. Nicotiana glauca (L), dengan Nicotiana langsdorfii (L), dan petunia (P).
4. kacang polong (P), dan oat (L), jelai (L), dan petunia (L).

I. PROSEDUR
Isolasi protoplas
1. Kedele
a. camprkan 1 ml kultur suspense usia 2 hari (5% v/v) dengan larutan enzim A 0,7 ml dlaam cawan perti Falcon 60 x 15 mm.
b. Segel cawan dengan parafilm dan inkubasi pada 24 0C selama 8 jam, kemudian pada 10 0C selam 18-20 jam.
Catatan: Setiap jam, pada 4-5 jam pertama inkubasi, aduk preparat perlahan-lahan selamabeberapa detik.
2. Jelai (juga digunakan untuk jagung dan gandum)
a. Bilas daun jelai dengan etanol 60% (gunakan botol semprot). Biarkan etanol menguap (sekitar 2-3 menit) pada suhu kamar.
b. Potong daun jelai menjadi irisan 1 x 20 mm (sejajar dengan tulang daunnya).
Catatan: Bagian dasar lembar daun dekat pelepah biasanya merupakan bagian yang paling baik untuk digunakan.
c. Inkubasikan irisan daun (sekitar 1 cm2) dalam 2 ml campuran yang terdiri dari 1 bagian larutan enzim B, 3 bagian larutan 1b dan 4 bagian medium kultur protoplas (table 2.1.) dalam petri Falcon. Segel cawan dan inkubasi pada suhu 24 0C selama 5-6 jam.
Catatan: Aduk sewaktu-waktu.
3. Kacang polong (juga untuk Vicia hajastana dan Nicotiana glauca).
a. Bilas daun kacang polong dengan etanol 60%. Biarkan etanol menguap.
b. Hilangkan epidermis bawah dengan mengupasnya menggunakan sepasang pinset lancip.
c. Potong daun menjadi beberapa irisan dan inkubasikan potongan daun (1 cm2) dalam campuran 1:1 larutan enzim B (1 ml) dan medium kultur protoplas (1 ml) dalam cawan petri Falcon. Segel cawan dan inkubasikan pada suhu 24 0C selama 5-6 jam. Aduk sewaktu-waktu. (Kurangi kadar enzim jika bahan daun tersebut diinkubasi dengan enzim semalam).
d. Campurkan kacang kedele dengan protoplas jelai, kacnag polong atau Nicotiana glauca dan lewatkan melalui penyaring nirkarat dengan ukuran pori 60-70 µm. Kumpulkan filtrate dalam tabung sentrifuga dan segel mulut tabung dengan Parafilm.
e. Sentrifuga filtrate pada 50-100 x g selama 6 menit untuk mengendapkan protoplas.
f. Buang cairan bening dengan pipet Pasteur.
g. Cuci protoplas (sekitar 0,03-0,06 ml) dengan 10 ml larutan 2.
h. Suspensikan kembali protoplas yang telah dicuci dalam larutan 2 sehingga terjadi suspense 4-5% (v/v).

Fusi
1. Dengan semprit plastic 1 ml teteskan 2-3 µl silicon 200 cair (100 CS) di bagian tegah cawan petri Falcon (60 x 15 mm).
2. Tempatkan sebuah kaca penutup ukuran 22 x 22 mm di atas tetesan tersebut.
3. Pipet sekitar 150 µl suspense protoplas dan teteskan pada kaca penutup dengan pipet Pasteur.
4. Biarkan protoplas sekitar 5 menit untuk membentuk lapisan tipis pada kaca penutup.
5. Perlahan-lahan tambahkan larutan PEG 450 µl tetes demi tetes pada tepi lapisan protoplas. (Amati gejala adhesi di bawah mikroskop inverse).
6. Inkubasikan protoplas dalam larutan PEG tersebut pada suhu kamar (sekitar 24 0C) selama 10-20 menit.
7. Dalam selang waktu 10 menit tambahkan dua kali 0,5 ml larutan 3 (atau medium kultur protoplas) secara perlahan-lahan. Setelah 10 menit lagi, tambahkan 1 ml medium kultur protoplas.
8. Kemudian cuci protoplas 5 kali dengan 1-2 medium kultur protoplas yang segar. Biarkan protoplas berada dalam medium segar ini selama 5 menit pada setiap pencucian. (Amati heterokariosit yang baru terbentuk).
Catatan: Pemindahan dipermudah dengan menggunakan pipet Pasteur yang dilengkapi dengan bola karet 2 ml. Tambahkan selalu larutan PEG atau medium segar pada tepi protoplas, usahakan lapisan tidak terganggu. Pada saat mencuci bahan yang diberi PEG, harus selalu ada selapis tipis medium (sekitar 150 µl) pada kaca penutup, sebelum ditambahkan medium baru.

Kultur protoplas
1. Kulturkan hasil fusi dengan protoplas yang tidak berfusi pada kaca penutup yang sama dalam selapis tipis 300-500 µl medium kultur protoplas. Untuk menjaga kelembapan, tambahkan tetes demi tetes 500-1000 µl medium lagi pada permukaan plastic cawan.
2. Segel cawan dengan Parafilm dan inkubasikan dalam cahaya neon sejuk dan baur (sekitar (0,6 W.m-2) di kotak plastic yang dilembapkan dengan kertas serap lembap.

Isolasi dan kultur heterokariosit tunggal (kedele-Nicotiana glauca)
Catatan: Gunakan medium komplaks seperti pada tabel 2.2.
1. 24 atau 48 jam setelah fusi, tambahkan medium segar dengan osmolalitas yang agak lebih rendah pada kultur protoplas (misalnya campuran 3 bagian medium kultur protoplas dengan 1 bagian medium kultur sel).
2. Isilah bilik luar dari cawan Cuprak dengan 3-4 ml campuran air suling steril dan medium kultur protoplas (1:1).
3. Kemudian encerkan kultur protoplas sehingga dalam setiap ml ada 200-300 protoplas (sel).
4. Pindahkan kultur protoplas ke dalam lubang-lubang cawan Cuprak dengan menggunakan mikropipet (20 µl) sekali-pakai (Drummond microcaps).
5. Segel cawan dengan Parafilm.
6. Amati cawan di bawah mikroskop inverse dan tandai lubang yang hanya mengandung 1 heterokariosit.
7. Inkubasikan cawan pada cahaya redup (0,5-1,0 W.m-2) atau di tempat gelap pada suhu 20-25 0C.

II. PEMBAHASAN
Banyak factor yang dapat mempengaruhi adhesi dan fusi yang diinduksi dengan PEG, (Wetter, L.R., F. Constabel, 1991) yaitu:
1. Protoplas dari daun muda atau kultur yang bertumbuh cepat merupakan bahan yang terbaik untuk fusi. Protoplas dari sel mesofil tua tidak dapat dipakai. Sel tua mempunyai dinding sel sekunder yang tidak tercerna enzim. Regenerasi dinding sel yang cepat pada protoplas sebelum sel bersentuhan dengan zat fusogenik juga dapat mengurangi fusi.
2. Kadar dan jenis enzim amat mempengaruhi fusi protoplas dan viabilitas heterokariosit. Sebagai contoh, perlakuan sel kedele dan kacang polong dengan larutan enzim yang mengandung Driselase biasanya akan menghasilkan frekuensi fusi yang lebih tinggi daripada dengan larutan enzim tanpa Driselase. Akan tetapi, heterokariosit yang didapat dari protoplas yang diperlakukan dengan Driselase biasanya lebih lemah, mungkin akibat aktivitas fosfolipase yang tinggi dalam Driselase. Fofolipase dapat mengubah lesitin menjadi lisolesitin, sehingga mempengaruhi konfigurasi membrane dan meningkatkan kesempatan membrane berfusi. Pada umumnya, perlakuan yang didapat protoplas pada penyiapannya akan dapat mengurangi viabilitasnya. Pengaturan yang baik mengenai jumlah enzim dan lamanya inkubasi penting artinya untuk memperkecil efek merugikan dari enzim terhadap viabilitas heterokariosit.
3. Jika bobot molekul PEG di bawah 300, tidak akan diamati terjadinya adhesi dan fusi protoplas dalam larutan PEG. Adhesi longgar dalam jumlah sedikit akan terjadi dalam larutan PEG yang mempunyai bobot molekul di atas 1000.
4. Adhesi dan fusi protoplas hanya dapat diinduksi dalam larutan yang mempunyai kadar PEG yang tinggi.
5. Adhesi dan fusi yang diinduksi oleh PEG akan ditingkatkan dengan memperkaya larutan PEG dengan ion Ca2+ cukup tinggi, maka adhesi dan fusi dapat terjadi dalam larutan PEG yang mengandung ion Na+ kadar tinggi pada pH tinggi.
6. Inkubasi protoplas dalam waktu lama dalam PEG atau pada pH tinggi dan kadar Ca yang tinggi akan menyebabkan kematian protoplas.
7. Hibrida antarkeluarga dari kedele-Nicotiana glauca dan kedele-Nicotiana langsdorfii menunjukkan heterosis negative. Hibrida tersebut tidak dapat bersaing dengan kedele dan Nicotiana glauca, akan tetapi pertumbuhannya akan baik dan membelah terus jika masing-masing diisolasi dan dikulturkan dalam medium kompleks.

2.2 Seleksi Sel
Seleksi klon pada kultur jaringan tanaman telah digunakan untuk mendaptakan lini sel yang menghasilkan produk metabolit sekunder dalam jumlah nesar. Seleksi ini telah berhasil meningkatkan metabolit sekunder pada beberapa lini sel tanaman.

Dasar dari seleksi pada kulutr jaringan untuk menghasilkan senyawa-senyawa metabolit sekunder adalah adanya variasi pada sel-sel dalam kemampuannnya untuk menghasilkan senyawa tertentu. Variasi ni dikenal sebagai variasi somaklonal dan secara genetic variasi ni cukup besar sehingga telah terbukti dapat dimanfaatkan sebagai sumber keragaman untuk menghasilkan senyawa tertentu. Variasi somaklonal ini dapat diperoleh dari kultur sel yang berasal dari protoplast atau cara-cara lain.
Keragaman genetic juga dapat diperoleh dengan memberikan perlakuan tertentu seperti pada perlakuan fisik dan kimia. perlakuan fisik disini termasuk penyinaran sel-sel dengan sinar j atau 60Co, selain itu juga dilakukan fusi sel secara electronis atau kemis. Perlakuan kimia mencakup pemakaian tumbuh seperti 2,4-D atau colchicines atau mutagen.
Jenis seleksi yang digunakan relative spesifik tergantung jenis senyawa yang dihasilkan. Jenis senyawa yang dihasilkan ini menentukan desain metode seleksi dan memilih lini sel untuk digunakna. hal mendasar yang harus diketahui adalah inisiasi kultur awal harus mempertimbangkan spesies dan kultivar yang menghasilkan senyawa yang bersangkutan.
Desain metode seleksi harus memungkinkan pengetahuan yang tersedia dari siklus biosintesis senyawa yang didinginkan. Seleksi untuk produksi pigmen dapat dilakukan dengan pengambilan koloni yang berdasarkan penampilan visual. Produksi senyawa-senyawa lain yang dapat diukur secara analitik dapat diseleksi ssesudah analisis banyak koloni untuk senyawa tersebut. Metoda ini harus dijabarkan untuk sneyawa-senyawa dan karakteristik yang harus diketahui serta siklus biosintesis dan degradasinya.
Untuk mendesain cara seleksi yang harus dipertimbangkan tidak hanya aspek biokimia dari senyawa yang diinginkan dan spesies tanaman yang dikulturkan, tetapi juga jenis kultur yang dipakai.
Penggunaan kultur kalus pada banyak studi dibatasi oleh kontak langsung sel dengan medium, karena sel-selnya berikatan satu sama lain. Dalam hal ini juga sulit untuk melakukan pemindahan/subkultur yang seragam baik jumlah/massa sel maupun keragaman tipe sel jika memindahkan sekelompok kecil dengan spatula. Meskipun demikian, kultur kalus telah berhasil digunakna unutk seleksi lini sel yang resisten terhadap streptomycin, 5-bromodeox-yuridine dan toksin penyakit blight pada jagung dan produksi antosianin.
Selain kultur kalus, sistem yang telah digunakan adalah sistem kultur suspense sel. Sistem kultur suspense mempunyai keuntungan-keuntungan tetentu mencakupi: (1) Kecepatan pertumbuhan yang lebih cepat; (2) transfer/sub kultur sel relative homogen; (3) sel-sel yang ada dapat diamati dengan mikroskop karena merupakan sel-sel bebas; (4) medium cair berada dalam kontak langsung dengan setiap sel; (5) medium dapat diperbaharui dengan mudah dengan penambahan medium baru; dan (6) sel-sel dapat diplating secara langsung. Sistem kultur suspensi sudah digunakan untuk menyeleksi lini-lini sel yang resisten terhadap asam amino juga mempergunakan sistem ini untuk mendapatkan lini yang menghasilkan antosianin.
Plating sel pada medium agar padat mempunyai banyak kegunaan dan dapat digunakan untuk kalus, suspense atau protoplast. kalus dapat dikocok pada medium cair atau melalui filer/saringan sebelum disuspensikan pada medium cair untuk plating. Kultur suspensi sel dapat digunakan langsung digunakan langsung bila agregat sel yang dikulturkan relative kecil. Protoplast juga dapat digunakan untuk plating. Protoplast juga dapat digunakan untuk plating. Protoplast dapat berasal dari sel suspense atau daun segar. Plating protoplast telah digunkan untuk seleksi lini sel yang resisten terhadap NaCl, methionine sulfoximine plast untuk mendapatkan lini sel yang menghasilkan antosianin tinggi juga telah digunkan pada tanaman ubi jalar.
Seleksi klon adalah teknik yang sangat berguna dimana sebuah lini sel berasal dari sebuah sel tunggal sehingga sel-sel dalam satu lini mempunyai informasi genetic yang samam. Hal ini sangat penting untuk memastikan kemurnian dan stabilitas lini-lini yang didinginkan. Tetapi pada umumnya teknik pengklonan ini sangat tidak efisien untuk dikerjakan secara rutin. Salah satu sistem yang mungkin digunkan adalah mikrospora yang diisolasi dari Nicotiana tobacum, Nicotiana sylvestris, dan Datura innoxia sudah diinduksi untuk membentuk embrio dan kemudian menjadi tanaman. Sistem ini memungkinkan isolasi sel tunggal, yaitu sel-sel haploid yang mungkin sangat berguna untuk seleksi. Kesesuaian teknik ini tergantung pada jumlah embrio mikrospora Nicotiana tabacum berkembang menjadi plantlest. Karena terdapat 5 anther pada setiap bunga, dan setiap anther mengandung 30.000 mikrospora, maka rata-rata 7000 plantletdapat diproduksi dari setiap bunga. Karena itu terdapat sejumlah besar dari embrio yang sedang berkembang dapat diperoleh dengan sistem ini. Kenyataan sampai saat ini adalah tidka mudah bekerja dengan sel tumbuhan bila disbanding dengan mikroba. Sel-sel tumbuhan umumnya tumbuh dengan sangat lambat, untuk agregat sel, jika diplating tidak akan tumbuh bila kerapatannya rendah dan menunjukkan ketidakstabilan kromosom dan ploidi. Kesulitan-kesulitan ini tidak mengecualikan manipulasi sel-sel tanaman yang sukses tetapi menyebabkan lambatnya kemajuan.

A. Seleksi Visual
Banyak lini sel yang menghasilkan bermacam-macam senyawa pigmen dalam jumlah besar sudah diseleksi bertahun-tahun dengan seleksi visual. Seleksi pada kultur Haplopappus gracilis telah dilakukan untuk mendapatkan lini sel yang menghasilkan antosianin tinggi. Sedang lini sel yang menghasilkan pigmen betlain secara stabil telah diisolasi dari kalus Beta vulgaris dengan seleksi visual.

B. Seleksi Berdasarkan Analisis Kimia
Metode seleksi yang telah berhasil digunakan adalah Radio Immuno Assay (RIA). Cara ini memiliki spesifitas dan sensivitas yang tinggi, serta cepat sehingga dapat digunakan untuk menganalisa sejumlah besar sampel. Metoda ini diterapkan untuk ekstrak dimana lebih dari 200 sampel perhari diproses. Dalam metode RIA ini dipergunakan strategi-strategi untuk menyeleksi lini-lini yang menghasilkan serpentin dan ajmalicine dalam jumlah besar dari Catharanthus roseus, yaitu:
Mempergunakan kalus yang berasal dari tanaman yang mempunyai kandungan senyawa tersebut dalam jumlah besar.
Menyeleksi lini-lini varian yangmampu memproduksi senyawa-senyawa tersebut seoptimal mungkin.
Seleksi untuk mendapatkan kalus yang mempunyai kandungan terpentin tinggi dilakukan dengan melakukan filtrasi sel untuk mendapatkan sel tunggal dan agregat kecul yang kemudian diinokulasikan pada medium padat dan petridish (plating). Koloni-koloni sel yang terbentuk kemudian dianalisis kandungan alkaloidnya dan sebagaimana diharapkan, terdapat variasi yang tinggi (dari 0 sampai 1.4% serpentin dan 0 sampai 0.8% ajmailicine yang dihitung berdasarkan kering). Koloni yang menghasilkan alkaloid dalam julah besar diisolasi, kemudian dikulturkan pada media cair, kemudian diinokultasikan lagi pada media padat pada petridish. Setelah utuh lini yang menghasilkan alcohol dalam jumlah besar dapat diisolasi.

A. Seleksi Berdasarkan Ukuran Agregat Sel
Seleksi ini dilakukan oleh Kinnersley dan Dougall pada kultur sel wortel liar untuk menghasilkan senyawa atosianin. Seleksi ini dilakukan berdasarkan pengamatan bahwa agregat sel yang kecil secara khusus mempunyai kandungan antosianin yang tinggi. Media yang dipakai adalah media W.C. Imp (Wild-carrot medium, Improved for anthocyanin production) yang dimantapkan oleh Dougall dan Weyranch.
Perbedaan ukuran yang berkorelasi dengan kandungan antosianin ini mungkin dapat diterangkan berdasarkan distribusi sitokinin yang berbeda di antara aregat dari ukuran yang berbeda. Tingkat sitokinin yang tinggi menghambat akumulasi antosianin dan menghambat pemisahan sel.
Hal ini menyebabkan agregat sel yang besar mempunyai kandungan antosianin yang rendah. Untuk mendukung hal ini, maka ditambahkan kinentin pada agregat sel yang kecil menyebabkan peningkatan ukuran agregat sel dan penurunan yang pararel pada antosianin yang dihasilkan.

1.3. Penggunaan Elicitor untuk Produksi Metabolit Sekunder
Penggunaan kultur suspensi sel tanaman untuk memproduksi senyawa-senyawa biokimia sampai saat ini masih jauh dari target yang diinginkan. Untuk memperbaiki produk yang dihasilkan, bermacam-macam teknik sudah dikembangkan untuk menyeleksi kultur sel tanaman yang menghasilkan senyawa dalam jumlah besar. Dasar yang digunakan dalam seleksi ini adalah variasi somaklonal. Klon hasil seleksi kemudian di sub kultur. Selama periode sub kultur ini, klon yang menghasilkan produk dalam jumlah besar tersebut, sering menunjukkan penurunan produktivitas, sehingga untuk memproduksi dalam skala besar menjadi sulit. Untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan seleksi berulang pada waktu tertentu.
Sebuah pendekatan lain untuk memperbaiki produk yang dihasilkan pada kultur sel tanaman adalah alterasi metabolism sel melalui factor-faktor eksternal, misalnya stress. Kultur sel tanaman pada dasarnya bersifat totipotensi, karena itu semua produk yang ada pada tanaman induk seharusnya juga disinetsi pada kultur dalam kondisi yang tepat. Pada interaksi antara tanaman inang dengan pathogen yang biasanya bersifat spesifik spesies, infeksi pathogen menginduksi pembentukan produk (fitoaleksi) yang toksik terhadap organism yang menginvasi. Enzim-enzim dari metabolism sekunder juga diinduksi oleh patogen yang menginvasi yang menghasilkan fitoaleksin. Dalam hal ini elicitor berperan penting dalam menginduksi enzim yang terlibat dalam siklus metabolism.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan elicitor untuk meningkatkan produksi metabolit sekunder adalah:
Elicitor yang dipakai dapat berupa fraksi karbohidrat yang diambil dari kultur suspensi cendawan atau dari ekstrak yeast, atau lebih dikenal sebagai glucas. Struktur glucan yang diperlukan untuk aktivitas elicitor adalah (1,6)-B-D-glucopyranosyl. Sedang molekul aktif terkecilnya adalah glukoheptose.
Dosis elicitor yang dipakai juga menentukan efektifitasnya dalam menginduksi senyawa yang diinginkan. Dosis yang terlalu tinggi menyebabkan timbulnya gejala nekrosa yaitu terjadinya pencoklatan sel. Dosis yang tep[at dapat ditentukan dengan percobaan, dan tergantung pada jenis elicitor yang dipakai serta sel tanaman yang diberi perlakuan.
Pemberian elicitor dapat dilakukan pada berbagai fase pertumbuhan sel, tetapi nampaknya tidak terdapat keserupaan antara sel yang diberi perlakuan elicitor dengan sel tanpa perlakuan elicitor.
Frekuensi pemberian elicitor juga dapat dilakukan lebih dari satu kali, tergantung pada jenis sistem yang digunakan dan juga jenis tanaman yang dikulturkan.
Waktu yang diperlukan oleh sel untuk menghasilkan produk dalam jumlah maksimum setelah pemberian elicitor berbeda-beda tergantung jenis kulturnya.

Menurut Sastrohamidjojo (1996) dalam bukunya yang berjudul Sintesis Bahan Alami, menyatakan bahwa: “Dua metode yang paling banyak digunakan untuk menyeleksi tanaman yang mengandung alkaloid, yaitu Prosedur Wall dan Prosedur Kiang-Douglas”.
Prosedur Wall meliputi ekstraksi sekitar 20 g bahan tanaman kering yang direfluks dengan 80% etanol. Setelah dingin dan disaring, residu dicuci dengan 80% etanol dan kumpulan filtrate diuapkan. Residu yang tertinggal dilarutkan dalam air, disaring, diasamkan dengan asam klorida 1%, dan alkaloid diendapkan baik dengan pereaksi Mayer atau dengan siklotungstat. Bila hasil tes positif, maka konformasi tes dilakukan dengan cara larutan yang bersifat asam tersebut dibasakan, alkaloid diekstrak ke dalam pelarut organic, dan kemudian alkaloid diekstrak kembali ke dalam larutan asam. Jika larutan asam ini menghasilkan endapan dengan pereaksi tersebut di atas, ini berarti tanaman mengandung alkaloid. Fasa basa berair juga harus di teliti untuk menentukan adanya alkaloid quartener.
Prosedur Kiang-Douglas agak berbeda terhadap garam alkaloid yang terdapat dalam tanaman (lazimnya sitrat, tartrat atau laktat). Bahan tanaman kering pertama-tama diubah menjadi basa bebas dengan larutan encer anomia. Hasil yang diperoleh kemudian diekstrak dengan chloroform, ekstrak dipekatkan dan alkaloid diubah menjadi hidrokloridanya dengan cara menambahakan asam klorida 2 N. Filtrat larutan berair kemudian diuji terhadap alkaloidnya dengan menambah pereaksi Mayer, Dragendroff, atau Bouchardat. Perkiraan kandungan alkaloid yang potensial diperoleh dengan menggunakan larutan encer standar alkaloid khusus seperti brusin.
Ketidakuntungan metode ke dua adalah bahwa senyawa ammonium quartener, yang tidak dapat diubah menjadi basa bebasnya dengan cara penambahan ammonia, tetap tertinggal dalam tanaman dan tidak dapat dideteksi. Keadaan yang semacam dalam prosedur standar Wall alkaloid quartenermuncul sebagai “false positive”, karena senyawa tersebut tidak dapat terekstrak ke dalam pelarut organic dalam media asam-basa.

Elisitasi merupakan proses penambahan elicitor pada sel tumbuhan dengan tujuan untuk menginduksi dan meningkatkan pembentukan metabolit sekunder. Elicitor terdiri atas dua kelompok, yaitu: elicitor abiotik dan elicitor biotic. Elicitor abiotik dapat berasal dari senyawa anorganik, radiasi secara fiksi seperti: ultraviolet, logam berat dan detergen.
Elicitor biotic dapat dikelompokkan dalam elicitor endogen dan elicitor eksogen. Elicitor endogen umumnya berasal dari bagian tumbuhan itu sendiri, seperti bagian dari dinding sel (oligogalakturonat) yang rusak oleh suatu serangan pathogen melalui aktivitas enzim hidrolisis atau membrane plasma yang mengalami kerusakan karena luka. Elicitor eksogen berasal dari dinding jamur misalnya: kitin atau glukan. Selain itu dapat berupa suatu senyawa yang disintesis oleh pathogen misalnya: protein.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar